Sang Waktu
Dengan langkah gontai
aku menjejalkan diriku memasuki aula. Di mataku ada ratusan orang sedang
berbincang – bincang dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan bawahan coklat sedikit
lebih tua ya termasuk aku. Saat jam menujukan pukul 13.00 WIB itulah yang
paling kunantikan melepas segala penat dengan berkelana ke dunia fantasiku,
berbuat semauku hingga menjelang sore. Namun aku harus merelakan mimpi siangku
untuk menghadiri event sekolah ini. Sudah menjadi kewajiban siswa senior
mengikuti kampus fair mungkin bisa berguna untuk masa mendatang. Aku mengambil
tempat di samping temanku yang berbadan sedikit tambun dengan niat bersandar di
bahunya sebagai siasatku untuk menyelami alam mimpi indahku.
“ Hei, bangun liat itu
siapa!” antusias si tambun.
“ Siapa sih? Aku
ngantuk tau.” aku merengek dengan sekuat tenaga berusaha membuka mata.
Sepersekian detik aku
bangun dan duduk tegap. Mataku masih terhipnotis oleh seseorang yang mampu
membekukanku. Potongan – potangan gambar melintasi pikiranku. Saat aku sedang
kesulitan memecahkan misteri ribuan angka.
“ Bu, ini caranya
gimana? “ tanyaku hampir bersamaan dengan seorang lelaki.
“ Kamu dulu.” kata
lelaki itu sambil menarik senyum yang tulus. Aku mematung tidak tau harus
berkata apa dan berbuat apa, seperti amnesia.
“ Mana yang
ditanyakan?” pertanyaan guru lesku menyadarkanku.
Setelah memecahkan
masalah aku kembali mencoba tantangan di nomor berikutnya. Tanpa kusadari
lelaki itu berjalan ke arahku. Aku pikir dia duduk di bangku kosong yang
berjarak beberapa meter denganku. Ternyata dia menghentikan langkahnya tepat di
sampingku.
“ Apa ini sudah benar,
Bu?” tanya dia kepada orang yang duduk berhadapan dengan kami
“ Salah.” Jawabnya
singkat sambil melukis angka yang menurutnya benar. “Kenapa kamu tidak duduk? Itu
ada bangku kosong.” menurunkan kacamata dan menaikanya kembali.
“ Berdiri saja “ sambil
mencondongkan badanya ke arah lukisan angka itu.
Namun lama – lama dia
semakin mendekat ke arahku ku pikir dia tidak bisa menjangkau lukisan angka
itu. Lalu aku sedikit menggeser tubuhku dengan harapan agar dia mampu
menjangkaunya. Tapi yang terjadi justru dia duduk di kursiku, satu kursi
denganku, tanpa hitungan kami sama – sama mengembangkan senyum.
“ Woi, malah bengong!” bentakan si tambun
membawaku kembali ke dunia ini
“ Eh itu.. itu dia
masih ingat ngga ya sama aku?” gumamku.
Orang yang mengetahui
isi hatiku hanyalah si tambun. Mungkin karena kami les di tempat yang sama. Aku
beruntung memiliki sahabat yang mampu menjaga rahasia. Aku juga bersyukur akhirnya
selama bertahun - tahun dipertemukan kembali oleh sang waktu.
Dia kini memasuki aula
mengenakan jas universitasnya dengan gagah ya dia memang seniorku. Mataku masih
terkunci mengekorinya, tidak dapat terlepas darinya, selalu perhatikan setiap
gerak – geriknya, masih sama dengan dulu
saat pertama kami bertemu, sangat mempesona. Begitu lama aku memandangnya
sampai akhirnya mata hitamnya memergokiku. Mata kami saling bartaut sangat lama
seakan bumi berhenti berputar, jantung berheti berdetak, darah berhenti
mengalir, sang waktu kini telah membeku dan berpaling kepadaku. Tanpa
mengedipkan mata sedetikpun dia menarik senyum khasnya dan tanpa diminta
semburat merah jambu kini hadir menghiasi wajahku.