Rabu, 09 Maret 2016

Contoh Cerpen Cinta Mini " Sang Waktu"

Sang Waktu
Dengan langkah gontai aku menjejalkan diriku memasuki aula. Di mataku ada ratusan orang sedang berbincang – bincang dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan bawahan coklat sedikit lebih tua ya termasuk aku. Saat jam menujukan pukul 13.00 WIB itulah yang paling kunantikan melepas segala penat dengan berkelana ke dunia fantasiku, berbuat semauku hingga menjelang sore. Namun aku harus merelakan mimpi siangku untuk menghadiri event sekolah ini. Sudah menjadi kewajiban siswa senior mengikuti kampus fair mungkin bisa berguna untuk masa mendatang. Aku mengambil tempat di samping temanku yang berbadan sedikit tambun dengan niat bersandar di bahunya sebagai siasatku untuk menyelami alam mimpi indahku.

“ Hei, bangun liat itu siapa!” antusias si tambun.
“ Siapa sih? Aku ngantuk tau.” aku merengek dengan sekuat tenaga berusaha membuka mata.

Sepersekian detik aku bangun dan duduk tegap. Mataku masih terhipnotis oleh seseorang yang mampu membekukanku. Potongan – potangan gambar melintasi pikiranku. Saat aku sedang kesulitan memecahkan misteri ribuan angka.

“ Bu, ini caranya gimana? “ tanyaku hampir bersamaan dengan seorang lelaki.
“ Kamu dulu.” kata lelaki itu sambil menarik senyum yang tulus. Aku mematung tidak tau harus berkata apa dan berbuat apa, seperti amnesia.
“ Mana yang ditanyakan?” pertanyaan guru lesku menyadarkanku.

Setelah memecahkan masalah aku kembali mencoba tantangan di nomor berikutnya. Tanpa kusadari lelaki itu berjalan ke arahku. Aku pikir dia duduk di bangku kosong yang berjarak beberapa meter denganku. Ternyata dia menghentikan langkahnya tepat di sampingku.

“ Apa ini sudah benar, Bu?” tanya dia kepada orang yang duduk berhadapan dengan kami
“ Salah.” Jawabnya singkat sambil melukis angka yang menurutnya benar. “Kenapa kamu tidak duduk? Itu ada bangku kosong.” menurunkan kacamata dan menaikanya kembali.
“ Berdiri saja “ sambil mencondongkan badanya ke arah lukisan angka itu.

Namun lama – lama dia semakin mendekat ke arahku ku pikir dia tidak bisa menjangkau lukisan angka itu. Lalu aku sedikit menggeser tubuhku dengan harapan agar dia mampu menjangkaunya. Tapi yang terjadi justru dia duduk di kursiku, satu kursi denganku, tanpa hitungan kami sama – sama mengembangkan senyum.

 “ Woi, malah bengong!” bentakan si tambun membawaku kembali ke dunia ini
“ Eh itu.. itu dia masih ingat ngga ya sama aku?” gumamku.

Orang yang mengetahui isi hatiku hanyalah si tambun. Mungkin karena kami les di tempat yang sama. Aku beruntung memiliki sahabat yang mampu menjaga rahasia. Aku juga bersyukur akhirnya selama bertahun - tahun dipertemukan kembali oleh sang waktu.

Dia kini memasuki aula mengenakan jas universitasnya dengan gagah ya dia memang seniorku. Mataku masih terkunci mengekorinya, tidak dapat terlepas darinya, selalu perhatikan setiap gerak – geriknya, masih sama  dengan dulu saat pertama kami bertemu, sangat mempesona. Begitu lama aku memandangnya sampai akhirnya mata hitamnya memergokiku. Mata kami saling bartaut sangat lama seakan bumi berhenti berputar, jantung berheti berdetak, darah berhenti mengalir, sang waktu kini telah membeku dan berpaling kepadaku. Tanpa mengedipkan mata sedetikpun dia menarik senyum khasnya dan tanpa diminta semburat merah jambu kini hadir menghiasi wajahku.