Minggu, 21 Juni 2015

Cerpen bertema Awesome Journey "Sentuhan Air"

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com 


Sentuhan Air

Banyak ide – ide muncul yang berterbangan di dalam kepalaku seakan melonjak – lonjak ingin keluar dari pusat pikiranku yang kita sering menyebutnya sebagai otak. Kemunculan ideku ini berawal dari seorang perempuan berwajah sedikit arab, kulit sawo matang, bertubuh sedikit lebih pendek dariku kira – kira setelingaku dengan rambut hitam yang sangat tipis sepanjang punggung. Dia bertanya untuk kabur dari rumahnya saat libur panjang padaku.
“Ge, aku pasti akan bosan kalau terus – terusan di rumah selama dua pekan. Aku mau kabur rasanya” kata dia.
“Hmm iya sih. Eh apa kamu bilang? Kabur? Liburan? Ke mana?” balasku.
“Entah. Menurutmu ke mana, Ge?” tanya dia.
 “Bagaimana kalau mantai di Tiga Warna, Sa? Liburan hari ke 2.” aku membuka bicara dengan mengankat jari telujuk ke mukanya
“Alam? Ide bagus tuh Gea” jawabnya
“Woy! Lagi ngomongin apa sih serius amat? Pasti ngomongin aku ya?” celetuk perempuan centil dengan rambut hitam lurus sebahu, tingginya setara dengan Sasa dan paras wajah yang cantik tentunya masih lebih cantik aku.
“Dasar GR!” kata Sasa sambil memalingkan pandanganya ke Naura
“ Kita lagi buat rencana buat berlibur ke Tiga Warna waktu liburan nanti” kataku
“ Tiga Warna? Wah ikutan dong. Sama siapa aja?” tanya Naura
“ Entah.” Jawab Sasa dengan mengankat kedua bahunya yang mungil
“Hmm bagaimana kalau ngajak yang lain? Pasti lebih seru.” Kata Naura
Kriiiing.... kriiing.... kriiiing.... bel pertanda dimulai pelajaran berbunyi. Setelah pelajaran usai Naura menghampiri bangkuku.
“Ge aku udah nemuin siapa yang mau ikut ke sana” kata dia sambil merapikan poni yang cenderung ke arah kanan dahinya.
“Oh ya? Siapa?”
“Ngga perlu aku jawab pasti kamu juga uda tau. Kalau begitu kapan kita berangkat? Naik apa?“
“Kita berangkat hari ke – 2 liburan ya, naik motor aja”
 “Iya deh nanti aku ngomong ke mereka
”҉
Kamarku tampak seperti kapal pecah alat make upku berserakan di atas meja yang biasa menyihir wajahku secantik putri salju. Sementara itu baju - baju terlihat seperti tumpukan buku yang biasa kubaca di perpustakaan untuk memecahkan 1 soal fisika yang sangat rumit. Ya aku sedang sibuk memilih baju dan kawan – kawanya untuk besok. Tiba – tiba handphoneku berdering. Tertera sebuah nama di layar Brian.
 “Ha-halo Bri-an” jawabku dengan gelagapan.
“Ge besok kita berangkat jam berapa? Aku udah ngga sabar nih”
“Hmm jam 8 mungkin”
“Oke aku tunggu ya besok di tempat biasa. See you”
Belum sempat ku balas perkataan Brian ya sedikit kecewa. Aku memikirkan dia, tatapan yang menusuk sampai ke hati, suara yang berwibawa, pembawaan tubuh yang berkharisma. Bagaimana tidak dia memiliki tubuh yang sangat atletis. Dia memiliki perut sixpack, rambut hitam lebat, wajah yang tampan tentunya. Dia juga tinggi, aku setara telinganya. Dan tanpa kusadari aku mencintainya.
҉
Seperti yang kujanjikan tadi malam, aku selalu datang tepat waktu bahkan sedikit lebih awal. Kali ini aku mengenakan kaos panjang berwarna putih, rompi dari bahan jeans biru, celana kain  coklat muda yang berbentuk seperti celana aladin dan flatshoes hitam. Aku duduk di bangku taman dengan mata terpejam. Angin berlalu dengan menerbangkan beberapa helai rambut gelombangku yang terurai panjang sepunggung.
“Hai cantik. Udah lama?”
Dengan masih terpejam aku berharap jika itu suara Brian. Tapi itu bukan suara Brian, suara ini yang selalu kudengar setiap hari, aroma parfum yang wanginya sangat menempel di hidungku. Dan sekarang aku merasakan dia duduk di sebelahku, mengacak – acak rambutku. Itu Kevin.
 “3 menit yang lalu” sambil membuka mata
Hening. Kenapa yang bersikap lembut seperti ini bukan Brian? Keheningan itu terpecahkan oleh suara cempreng kedua perempuan yang berjalan menuju tempat kami. Mereka berhenti di depan kami
“Hai! Oops! Maaf aku nggak bermaksud menggangu moment romantis kalian” celetuk Sasa
“Romantis apa sih, Sa?” 
“Mereka aja biasa kenapa kamu yang sewot sih Ra?”
“Hai guys!” celetuk Brian. Entah sejak kapan dia berada diantara kami semua
 “Udah yuk berangkat. Btw aku nebeng siapa nih?” tanyaku dengan harap jika Brian yang mengajaku bersamanya.
“Aku nebeng Naura jadi kamu sama Kevin aja” jawab Sasa
Kenapa selalu Kevin? Beginilah kami ke mana – mana selalu berlima namanya juga sahabat.
҉
Setelah berjam- jam melalui aspal yang berliku – liku seperti rambutku. Kita sampai di pantai.
“Yes. Sampai!” tanya Kevin
“ Belum lah kita masih di Pantai Celungup” jawab Brian “Ke Pantai Tiga Warna harus melewati Pantai Celungup dan Pantai Gatra  disini kita juga harus menyewa Guide.” Sambungnya
“Darimana kau tahu?“ tanya Kevin
“ Apa gunanya google maps dan mbah google jika tidak dipakai?” Ledek Brian
Akhirnya Brian berhasil menyewa Guide. Mungkin umurnya sekitar 3 atau 4 tahunan di atas kami. Tapi aura yang dia pancarkan, sangat egois, agresif, sinis, yah pokoknya semua hal negatif lah.
“Oke tinggalkan motor kalian di sini dan ikuti aku!” perintah Guide
“Jadi kita jalan kaki?” tanyaku
“Yaiyalah, motor kalian tidak bisa memasuki perkampungan warga” jawab Guide
Kita tidak bisa menolak permintaan Guide. Dengan membawa tas ransel yang bentuknya menyerupai kura – kura kami sangat capek. Tapi aku bisa melihat keceriaan gerombolan anak kecil yang sedang asik bermain permainan tradisional. Anak perempuan bermain menggunakan karet gelang yang diuntai menjadi tali yang panjang kemudian mereka bergantian melompatinya. Lalu anak laki – laki bermain benda bulat kecil. Mungkin itu kelereng.
҉҉҉
Tiba – tiba aku melihat sesuatu yang sangat menantang di depan mata. Pohon – pohon besar, jalan setapak, suasana sunyi, sedang menunggu kita.
“Tunggu – tunggu. Apakah kita akan masuk ke sana?” Naura angkat bicara
“Ya. Kita harus memasukinya” jawab Guide
“Apa tidak ada jalan lain?” rengek Sasa
“Hanya ini jalan menuju ke Tiga Warna” balas Guide
“Oh jadi ini alasan kita tidak boleh membawa motor?” tanyaku
“Ku rasa aku tidak perlu menjawab pertaanyaanmu” jawab Guide
Aku merasakan ada api membara yang membakar tenggorokanku. Lelaki itu membuatku marah.
“Aku capek” rengek Naura
 “Masa cuma segini aja uda K.O” celoteh Brian
 “Bentar lagi sampai. Sekitar 30 menit.” Balas Guide
“Haaaaa!” Aku, Sasa dan Naura kompak bagaikan paduan suara yang telah terlatih
Sementara Brian dan Kevin tertawa terbahak – bahak di  belakang
҉҉҉
Angin sepoi – sepoi menyambut kedatangan kita dengan ramah. Begitu juga dengan suara kicauan burung yang sedang menyapa.
“Yeee akhirnya kita sampai di Tiga Warnaaa!” teriakku dengan penuh percaya diri
“Belum ini bukan Tiga Warna, ini Gatra” jawab Guide
Ke empat temanku tertawa mendengarnya. Aku sangat malu.
“Oke kita beristirahat di sini dulu. 10 menit lagi kita melanjutkan perjalanan.” Perintah Guide
Aku duduk dengan kedua kaki menjulur ke depan. Lalu Kevin dan Brian mengeluarkan ponselnya untuk selfie
“Aku ikuuuuuut” teriak Salsa diikuti Naura sambil membawa tongsisku
Alhasil hanya tesisa aku dan guide sekarang. Aku bangkit dari dudukku untuk bergabung bersama teman – teman, tiba – tiba ada yang menarik tangan kananku. Aku terdiam sesaat dan berbalik badan ke belakang. Aku sangat terkejut Guide ada di depanku sekarang. Mata kita saling bertemu entah mengapa tiba – tiba jantungku berdebar. Lebih kuat daripada tatapan mata Brian.
“ Kau mau ke mana?” dia membuka bicara
“ Bergabung dengan teman – teman. Kenapa?” jawabku
“Terlambat. Waktunya kita melanjutkan perjalanan” balasnya dengan melepaskan genggaman tanganya dan memalingkan pandangan ke teman - teman
“Tapi kita baru istirahat” kataku
“Woi! Kaliaaan! Ayo waktunya kita berangkat!” teriak Guide
“Yah aku belum puas foto” celetuk Naura
Lagi – lagi kami harus menuruti perkataanya. Setelah mengambil tas masing – masing kita melanjutkan pejalanan. Kali ini kita melewati alam yang lebih ekstrim. Yaitu bukit. Dengan medan yang cukup buruk ditambah lagi jalan menanjak dan menurun. Dan terik matahari yang hampir di atas kepala. Aku tertinggal jauh di belakang.
“Aaahh!” teriakku. Aku terjatuh entah mengapa mungkin tersandung batu. Teman – teman  dan Guide berbalik lari menghampiriku
“Kau tidak papa?” tanya Guide dan membantuku berdiri.
Setelah dia melepaskan bantuanya, keseimbanganku goyah kakiku terlalu lemah untuk menopang Guide dengan sigap menangkapku. Mata kami bertemu untuk kedua kalinya. Getaran yang semula mereda kini muncul lagi. Tiba – tiba dia melepas tasnya lalu dia berjongkok di hadapanku.
 “Kau tidak bisa berjalan. Ayo naiklah!” Kata Guide
Lalu Naura dan Sasa membantuku untuk naik ke punggung Guide yang tegap itu. Sekarang getaran itu luar biasa hebatnya.
҉҉҉
Aku bisa merasakan sentuhan oksigen dingin yang menyentuh kulitku sejenak hatiku merasa tantram seolah – olah tidak ada beban dalam hidupku. Dan juga suara gerombolan butir air yang menyatu yang seling berganti. Betapa indahnya perbatasan antara daratan dan lautan ini.
“Yuhuuu kita sampai!” antusias Sasa dan Naura
 “ Wohoooo” teriak Kevin sambil berlari dengan membawa tongsisku
Begitulah Kevin tidak bisa hidup tanpa selfie. Naura, Sasa dan Brian tidak kalah heboh. Mereka mengeluarkan ponsel masing – masing untuk memburu foto dengan background yang indah ini. Sementara aku, ah aku baru sadar kalau aku masih berada di punggung si Guide.
“Turunkan aku!”
“Harusnya kau bilang terima kasih. Bukan membentakku seperti itu”
Lalu dia menurunkanku dengan hati – hati. Lagi – lagi  aku hampir terjatuh tapi Guide menangkapku dan sekarang aku berada dalam pelukanya. Mata kami bertemu.
“Mungkin kakimu terkilir” dia mengambil kaki ku ditaruh di pangkuanya dan memijat kaki ku.
“Ma – makasih guide” dengan terbata bata.
“Panggil aku Bara” dengan mengulurkan tangan seraya memperkenalkan dirinya
Kusambut tanganya dengan gemetar “Gea”
“Pacarmu yang mana?”
“Ha? Pacar? Kita semua bersahabat.”
“Aku tinggal sebentar ya”
Aku menjawabnya dengan anggukan lalu dia pergi. Aku bergabung teman – teman yang asik foto bersama. Kemudian Bara menghampiri kami dengan membawa peralatan snorkling.
“Pakai pelampung dan kaca mata ini!”
Kami memakainya dan Bara memberi arahan. Setelah itu kita menghanyutkan diri di atas air laut yang jernih dan kita dapat melihat keindahan kerajaan bawah laut.
“ Andai aku bisa menyelam pasti aku bisa menyentuh rumah mereka” gumamku
“ Lepas saja alat snorklingmu, lalu menyelamlah” celetuk Bara
“ Aku tidak bisa berenang apalagi menyelam”
“ Aku akan menuntunmu”
Lalu aku dan Bara melepaskanya. Kami mulai tenggelam. Bara menyentuh tangan kiriku dan menempelkan ke terumbu karang. Kini dia berada tepat di belakangku jantungku berdebar kencang.
҉҉҉
Masih dengan basah kuyub kita bertiga duduk di tepi pantai
“Ngapain senyum – senyum sendiri. Kaya orang gila aja Sa” kataku
“Hmm ngga papa. Ngga lagi jatuh cinta kok. Eh maksutku bukan itu” 
“Eh siapa yang tanya jatuh cinta. Wah pasti lagi jatuh cinta nih. Cerita dong” tanya Naura
“Iya aku lagi suka sama Bri- brian”
 “Jadi selama ini kamu suka sama aku?” tiba – tiba Brian muncul dan perlahan memluk Sasa dengan hangat
Hatiku seperti gelas yang pecah, hancur. Ternyata selama ini sahabatku mencintai orang yang aku cintai. Aku berlari, pipiku basah aku tidak bisa menahanya. Sialnya Naura mengejarku. Lalu aku bertabrakan dengan Kevin.
“Kamu kenapa Ge? Cerita sama aku”
“ Aku dan Sasa mencintai orang yang sama. Bri – brian. Dan mereka sudah jadian”
“Brian? Udahlah masih banyak kok cowok yang lebih baik. Aku bisa gantikan Brian di hatimu. Aku sayang kamu Gea.”
“Maaf Kevin aku ngga bisa”
Lalu aku mendengar suara isakan dari belakang. Itu Naura. Aku mendekatinya dan kupeluk sahabatku itu. Aku sadar jika Naura selama ini mencintai Kevin. Tiba – tiba Naura melepaskan pelukanku dan pergi lalu Kevin mengejarnya. Dari kejauhan aku dapat melihat Kevin menghentikan langkah Naura dan memeluknya. Terkadang bahagia itu melihatmu bahagia bersama orang lain meskipun ada rasa yang mengganjal.
҉҉҉
Dengan isakan yang kencang aku berjalan ke bibir pantai, kujatuhkan alat snorkling. Aku menenggelamkan diri di tengah – tengah pantai karena hanya di dalam air ketenangan hadir. Air laut yang semula tenang kini membawaku ke dalam higga dasar.  Tiba – tiba ada yang menariku ke atas.
“Apa kau gila? Kau tidak bisa berenang apalagi menyelam. Kau bisa mati”
“Kau tidak tahu apa yang aku rasakan Bara”
Aku terisak semakin kencang. Tiba – tiba Bara memeluku dengan erat, entah mengapa isakan ku berhenti seketika. Lalu dia menghapus air mata di pipiku dan untuk kesekian kalinya mata kami bertemu.
“Ku rasa air dapat menghilangkan bebanku. Apa kau mau membantuku menyelam Bara?” sial ngapain aku mengajaknya menyelam. Bodoh.
“Oke. Tapi jangan coba – coba untuk pergi dariku”
Mendengar perkataan itu jantungku berdebar. Lalu dia menuntunku untuk menyelam. Kini hanya ada aku dan dia seperti tadi dia di belakangku. Lalu dia menepuk pundaku dan membuatku berbalik menghadapnya. Mata kami bertemu dan aku sangat canggung. Mulutnya mengatakan beberapa kata aku tidak bisa mendengarnya namun aku berusaha membacanya. Aku terkejut setelah tahu apa yang dia ucapkan. Mataku membelakak, tenggorokanku sepeti tesedak sesuatu. Aku menjawabnya dengan anggukan dan kami berpelukan. Jantungku seakan – akan telah tertusuk oleh sebuah panah. Panah cinta tepatnya.